Selasa, 07 Juni 2016

Malpraktik dalam pelayanan kebidanan 1



Malpraktik Dalam Pelayanan Kebidanan
I.      Malpraktik Dalam Pelayanan Kebidanan
1.      Pengertian Malpraktik
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktik adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.
Dalam Black’sLaw Dictionary malpraktik didefinisikan sebagai:
professional misconduct or unreasonable lack of skill”  atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them.
Sedangkan Guwandi (1994) Dalam suatu kasus di california tahun 1956 mendifiniskan mallpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Malpraktik sering dikaitkan dengan kelalaian. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan beresiko melakukan kesalahan. Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan seseorang dengan hati-hati  dalam keadaan tersebut. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya (hanafiah & Amir, 1999). Namun, jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat(culpa lata), serius dan kriminal.
Jadi perbedaan malpraktik dan kelalaian adalah :
a. Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dari pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik merupakan kelalaian tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuannya yg lazim dipergunakan dlm asuhan yang diberikan ke  pasien, menurut ukuran (standar) di lingkungan yang sama.
b. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik lebih luas dari pada kelalaian (negligence) karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang.
Kesimpulan malpraktik adalah :
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence) dan;
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Faktor yang menyebabkan terjadinya mal praktik dalam kebidanan
a. Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum
b.Standar Operasional prosedur(SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
c. Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
(Gruendeman & Fernsebner, 2006)
d.  Petugas kesehatan  (dokter, perawat, bidan ) tidak memahami benar tentang filosofi keilmuannya sehingga pada saat melaksanakan asuhan kepada klien tidak sesuai dengan kewenaangannya, kompetensinya, serta melakukan asuhan dibawah standar operasinal prosedur, bertentangan dengan hukum, lalai dengan tugasnya dan akhirnya terjadi komunikasi yang tidak baik antara nakes dan pasien, hasil perawatan dirasakan kurang memuaskan, serta biaya yang dirasakan terlalu tinggi serta terjadi  insiden KTD (Kejadian yang tidak diharapkan) atau Sentinel yang pada akhirnya akan menimbulkan tuntutan dari pasien tersebut.

3. Sanksi malpraktik
1) Undang-undang malpraktik
Undang-undang Replubik Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII Tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja,  Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat Bagian ke satu : kesehatan ibu, bayi dan anak
1.  Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu  harus ditujukan untuk menjaga kesehatan  ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan peraturan pemerintah.
Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum kesehatan Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak menyebutkan secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54 dan 55 UU Kesehatan.

2 Pasal 54:
(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
3 Pasal 55:
(1)Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2)Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Hanafiah (1999) hal-hal yang berhubungan dengan sanksi malpraktik adalah :
2) Tuntutan malpraktik dapat bersifat pelanggaran-pelanggaran berikut:
a. Pelanggaran etika profesi
b. Sanksi administratif
c.  Pelanggaran hukum
3) Sebab-sebab terjadinya gugatan malpraktik:
a.  Komunikasi yang tidak baik
b.  Hasil perawatan yang tidak memuaskan
c.   Biaya yang dianggap terlalu tinggi
4) Strategi untuk menanggulangi permasalahan malpraktik
a.  Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya ( inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.  sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent
c.  mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis
d.  apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.   Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.    Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar.
g.   Petugas kesehatan harus mengetahui dan mematuhi standar perawatan, harus mengetahui standar asosiasi nasional dan praktik yang direkomendasikan, serta memperhatikan isu – isu terbaru dari jurnal atau buku yang diterbitkan dan melaksanakan asuhan berdasarkan evidence base dengan sumber bukti ini.
5) Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:
a.  Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien
b.  Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
c.    Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d.   Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.

4. Jenis-Jenis Malpraktik
Malpraktik dibedakan menjadi 2 yaitu,  malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice)  :
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).
Adapun isi dari pada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
1.   Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
2.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.
3.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
4.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

5. Teori yang dapat dijadikan pegangan untuk pembelaan apabila menghadapi tutntutan malpraktik 
a.  Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. b.      Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
 Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c.   Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.
d.  Peraturan Good Samaritan
Seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e.  Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama.
f.  Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum yang lain.
g. Workmen’s Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka.

II. Kewenangan dan peran bidan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464 /Menkes/Per/ X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan,  kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
1. Kewenangan normal:
a. Pelayanan kesehatan ibu
b.Pelayanan kesehatan anak
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
2. Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah
3.  Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter

Peran Bidan menurut kode etik kebidanan dalam memberikan pertolongan persalinan adalah melakukan penapisan awal sebelum melakukan tindakan pertolongan persalinan sehingga diketahui apakah pasien mempunyai komplikasi atau penyulit di dalam sehingga persalinan aman dan terhindar dari komplikasi
Peran Bidan adalah sebagai berikut :
1.   Sebagai pelaksana,
Sebagai pelaksana bidan memiliki tiga kategori tugas yaitu tugas mandiri, tugas kolaborasi dan tugas ketergantungan
2. Peran sebagai pengelola
Sebagai pengelola bidan memiliki 2 tugas yaitu tugas pengembangan pelayanan dasar kesehatan dan tugas partisipasi dalam tim
3. Peran sebagai pendidik
Sebagai pendidik bidan mempunyai 2 tugas yaitu sebagai pendidik dan  penyuluh kesehatan bagi klien serta pelatih dan pembimbing kader
4. Peran sebagai peneliti
Melakukan investigasi atau penelitian terapan dalam bidang kesehatan baik secara mandiri maupun kelompok.

III.       Peran organisasi profesi dalam kasus tersebut
     Ikatan Bidan Indonesia mempunyai MPEB (Majelis Pertimbangan Etik Bidan) yang merupakan badan perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan tuntutan dari pasien akibat pelayanan yang di berikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum. MPEB bertujuan mengupayakan peningkatan mutu pelayanan yang di berikan oleh bidan  dalam masyarakat sesuai dengan mengamalkan ketentuan ketentuan kode etik  Bidan Indonesia.
Keberadaan MPEB bertujuan untuk :
a. Meningkatkan citra Ikatan Bidan Indonesia dalam meningkatkan mutu pelayanan yang di berikan bidan.
b.  Terbentuknya lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap kode etik Bidan Indonesia.
c.  Meningkatkan kepercayaan diri anggota IBI
d.  Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan.
Tugas dan wewenang MPEB adalah memberikan bimbingan pembinaan serta pengawasan etik profesi meneliti dan menetukan ada atau terhadap kesalahan dan kelalaian bidan dalam memberikan pelayanannya etika profesi ialah norma norma yang berlaku bagi bidan dalam memberikan pelayanan profesinya seperti yang tercantum dalam kode etik bidan.
Lingkup Majelis Etika Kebidanan meliputi :
1. Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai dengan standar profesi pelayanan bidan (Kepmenkes no. 900/Menkes/SK/VII/Tahun 2002
2. Melakukan supervise lapangan, termasuk tentang teknis dan pelaksanaan praktek termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah pelaksanaan praktek bidan sesuai dengan standar praktek bidan, standar profesi dan standar pelayanan kebidanan, juga batas – batas kewenangan bidan.
3. Membuat pertimbangan bila terjadi kasus – kasus dalam praktek kebidanan.
4. Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang hokum kesehatan, khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik bidan.

IV. Standar pelayanan kebidanan
Ruang lingkup standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan sebagai berikut :
a. Standar pelayanan umum (2 standar)
Standar 1         : Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Bidan memberikan penyuluhan dan nasehat kepada perorangan, keluarga dan masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan dengan kehamilan, termasuk penyuluhan kesehatan umum, gizi, keluarga berencana, kesiapan dalam menghadapi kehamilan dan menjadi calon orang tua, menghindari kebiasaan yang tidak baik dan mendukung kebiasaan yang baik.
Standar 2         : Pencatatan dan Pelaporan
Bidan melakukan pencatatan semua kegiatan yang dilakukannya, yaitu registrasi. Semua ibu hamil di wilayah kerja, rincian pelayanan yang diberikan kepada setiap ibu hamil/bersalin/nifas dan bayi baru lahir, semua kunjungan rumah dan penyuluhan kepada masyarakat. Di samping itu bidan hendaknya mengikutsertakan kader untuk mencatat semua ibu hamil dan meninjau upaya masyarakat yang berkaitan dengan ibu hamil dan bayi baru lahir. Bidan meninjau secara teratur catatan tersebut untuk menilai kinerja dan penyusunan rencana kegiatan untuk meningkatkan pelayanannya
 b. Standar Pelayanan Antenatal (6 standar)
Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Bidan melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan memotivasi ibu, suami, dan anggota keluarganya agar mendorong ibu untuk memeriksakan kehamilannya sejak dini dan secara teratur
Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Bidan memberikan sedikitnya 4x pelayanan antenatal. Pemeriksaan meliput anamnesis dan pemantauan ibu janin dengan seksama untuk menilai apakah perkembangan berlangsung normal. Bidan juga harus mengenali kehamilan risti/ kelainan, khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi, PMS, infeksi HIV, memberikan pelayanan imunisasi, nasehat dan penyuluhan kesehatan serta tugas terkait lainnya yang diberikan oleh puskesmas. Mereka harus mencatat data yang tepat pada setiap kunjungan. Bila ditemukan kelainan, mereka harus mampu mengambil tindakan yang diperlukan dan merujuknya untuk tindakan selanjutnya.
Standar 5 : Palpasi dan Abdominal
Bidan melakukan pemeriksaan abdominal dan melakukan palpasi untuk memperkirakan usia kehamilan; serta bila kehamilan bertambah memeriksa posisi, bagian terendah janin dan masuknya kepala janin kedalam rongga panggul, untuk mencari kelainan dan melakukan rujukan tepat waktu.
Standar 6         : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan        
Bidan melakukan tindakan pencegahan, penemuan, penanganan dan rujukan semua kasus anemia pada kehamilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Standar 7  : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan mengenal tanda serta gejala preeklampsia lainnya, serta mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya.
Standar 8 : Persiapan Persalinan
Bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami serta keluarganya pada trimester ketiga, untu memastikan bahwa persiapan persalinan yang bersih dan aman serta suasana yang menyenangkan akan direncanakan dengan baik, disamping persiapan transportasi dan biaya untuk merujuk, bila tiba-tiba terjadi keadaan gawat darurat. Bidan hendaknya melakukan kunjungan rumah untuk hal ini. 
c. Standar Pertolongan Persalinan (4 standar)
Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala I
Bidan menilai secara tepat bahwa persalian sudah mulai, kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai, dengan memperhatikan kebutuhan klien, selama proses persalinan berlangsung.
Standar 10 : Persalinan Kala II yang Aman
Bidan melakukan pertolongan persalinan yang aman, dengan sikap sopan dan penghargaan terhadap klien serta memperhatikan tradisi setempat
Standar 11 : Penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala III
Bidan melakukan penegangan tali pusat dengan benar untuk membantu pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara lengkap
Standar 12 : Penanganan Kala II dengan Gawat Janin melalui Episiotomi
Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat janin pada kala II yang lama, dan segera melakukan episiotomi dengan aman untuk memperlancar persalinan, diikuti dengan penjahitan perineum. 
d. Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk memastikan pernafasan spontan mencegah hipoksia sekunder, menemukan kelainan, dan melakukan tindakan atau merujuk sesuai dengan kebutuhan. Bidan juga harus mencegah atau menangani hipotermia.
Standar 14 :Penanganan pada Dua Jam Pertama Setelah Persalinan
Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam dua jam setelah persalinan, serta melakukan tindakan yang diperlukan. Di samping itu, bidan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang mempercepat pulihnya kesehatan ibu, dan membantu ibu untuk memulai pemberian ASI.
Standar 15 :Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas
Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu keenam setelah persalinan, untuk membantu proses pemulihan ibu dan bayi melalui penanganan tali pusat yang benar, penemuan dini penanganan atau rujukan komplikasi yang mungkin terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan tentang kesehatan secara umum, kebersihan perorangan, makanan bergizi, perawatan bayi baru lahir, pemberian ASI, imunisasi dan KB.
 e. Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri-Neonatal (9 standar)
Standar 16 : Penanganan Perdarahan dalam Kehamilan pada  Trimester III
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala perdarahan pada kehamilan, serta melakukan pertolongan pertama dan merujuknya.
Standar 17 : Penanganan Kegawatan dan Eklampsia
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala eklampsia mengancam, serta merujuk dan/atau memberikan pertolongan pertama
Standar 18 : Penanganan Kegawatan pada Partus Lama/Macet
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala partus lama/macet serta melakukan penanganan yang memadai dan tepat waktu atau merujuknya
 Standar 19 : Persalinan dengan Penggunaan Vakum Ekstraktor
Bidan mengenali kapan diperlukan ekstraksi vakum, melakukannya dengan benar dalam memberikan pertolongan persalinan dengan memastikan keamanannya bagi ibu dan janin/bayinya.
Standar 20 : Penanganan Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali retensio plasenta, dan memberikan pertolongan pertama termasuk plasenta manualdan penanganan perdarahan, sesuai dengan kebutuhan.
Standar 21 : Penanganan Perdarahan Post Partum Primer
Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam pertama setelah persalinan (perdarahan post partum primer) dan segera melakukan pertolongan pertama untuk mengendalikan perdarahan.
Standar 22 : Penanganan Perdarahan Post Partum Sekunder
Bidan mampu mengenali secara tepat dan dini tanda serta gejala perdarahan post partum sekunder, dan melakukan pertolongan pertama untuk penyelamatan jiwa ibu, atau merujuknya.
Standar 23 : Penanganan Sepsis Puerperalis
Bidan mampu mengamati secara tepat tanda dan gejala sepsis puerperalis, serta melakukan pertolongan pertama atau merujuknya. 
 Standar 24      : Penanganan Asfiksia Neonatorum
Bidan mampu mengenali dengan tepat bayi baru lahir dengan asfiksia, serta melakukan resusitasi, mengusahakan bantuan medis yang diperlukan dan memberikan perawatan lanjutan.

V. Kode etik dan etika pelayanan kebidanan
1.   Pengertian
Kode etik adalah norma norma yang harus di indahkan oleh setiap prefesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan di dalam hidupnya di masyarakat (Wahyuningsih 2008).
Kode Etik juga merupakan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional
Kode etik juga di artikan sebagai suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai nilai internal  dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pengetahuan yang komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota bidan dalam melaksanakan pengabdiannya.Profesi adalah moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita cita dan nilai bersama.
2.      Tujuan
a.  Menjujung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini semua anggaota profesi kebidanan yang akan menjunjung tinngi martabatnya,oleh karena itu setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindakan yang dapat mencemarkan nama baik profesinya tersebut.

    Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya

Yang di maksud dengan kesejahteraan disini adalah kesejahteraan material dan spiritual dari anggota profesi tersebut.Kode etik juga menciptakan peraturan peraturan yang di tujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas di lakukan oleh seorang bidan.

    Meningkatka pengabdian para anggota profesi

Dalam hal ini profesi dengan mudah    mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya.Oleh karena itu dalam kode etiik merumuskan ketentuan ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

    Meningkatkan mutu profesi

Dengan adanya kode etik ini dapat memelihara dan meningkatkan  mutu profesi dalam menjalankan pengabdiannya.
3.  Dimensi kode etik
a.  Anggota profesi dan klien
b. Anggota profesi dan system
c.  Anggota profesi dan profesi baru
d. Semua anggota profesi

4. Prinsip kode etik
·         Menghargai otonomi
·         Melakukan tindakan yang benar
·         Mencegah tindakan yang dapat merugikan
·         Memperlakukan manusia secara adil
·         Menjelaskan dengan benar
·         Menepati janji yang telah disepakati
·         Menjaga kerahasiaan
5. Kode Etik kebidanan
Dalam Rapat Kerja Nasional Ikatan Bidan Indonesia Tahun 1991 secara umum kode etik tersebut berisi 7 bab yang dapat dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu
1.      Kewajiban Bidan terhadap klien dan masyarakat
2.      Kewajiban bidan terhadap tugasnya
3.      Kewajiban bidan terhadap teman sejawat dan tenaga kesehatan lainya
4.      Kewajiban bidan terhadap profesinya
5.      Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
6.      Kewajiban bidan terhadap pemerintah,nusa bangsa dan tanah air
7.      Penutup

6.      Penyimpangan kode Etik
Kode etik diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman yang nyata bagi para bidan dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada kenyataannya para bidan masih banyak yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya sendiri dalam pemberian pelayanan terhadap masyarakat.
Contoh pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh bidan adalah penangan kasus kelahiran sungsang, melakukan aborsi, menolong partus patologis dan yang lainnya. Untuk kasus kelahiran sungsang jika bidan melakukan pertolongan sendiri maka bertentangan dengan
a.  Undang-Undang Kesehatan Pasal 5 Ayat (2) yang  menyatakan bahwa ) “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman
b. PERMENKES RI tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pada Pasal 10 point (d) disebutkan bahwa “Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi  pertolongan persalinan  normal

Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan isu utama diberbagai tempat, dimana sering terjadi karena kurang pemahaman para praktisi pelayanan kebidanan terhadap etika. Pelayanan kebidanan adalah proses dari berbagai dimensi.
Bidan sebagai praktisi pelayanan harus menjaga perkembangan praktik berdasarkan evidence based
 Etika dibagi menjadi tiga bagian, meliputi:
1.    Metaetika (etika)
2.    Etika atau teori moral;
3.    Etika praktik.
Etika atau teori moral untuk memformulasikan prosedur atau mekanisme untuk memecahkan masalah etika. Etika praktik merupakan penerapan etika dalam praktik sehari-hari, dimana dalam situasi praktik ketika kecelakaan terjadi keputusan harus segera dibuat.

VI.       Nilai-nilai Islam terkait malpraktik
Para ulama fikih sepakat dalam hal seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan dalam bidang medis, kemudian ia melakukan tindakan medis terhadap seseorang pasien, dan ternyata mengakibatkan sakit atau tidak sembuhnya penyakit pasien, dan bahkan membawa dampak negatif lain. Maka ia harus bertanggung jawab penuh terhadap tindakannya sesuai dengan kadar bahaya yang diakibatkannya. Sebab tindakannya itu dianggap sebagai kezaliman dan pelanggaran penuh. Oleh karenanya dia harus membayar ganti-rugi atas perbuatannya itu.
Dinyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
 “Barangsiapa berpura-pura sebagai dokter, sedangkan dia sebelum itu belum pernah memelajari ilmu kedokteran, maka ia harus mengganti kerugian (yang diakibatkan oleh ulahnya)”.
“Dokter mana pun yang merawat pasien, sedangkan ia tidak mengetahui (sebelumnya) cara perawatan medisnya, sehingga si pasien menderita lebih parah, maka ia harus bertanggung jawab sepenuhnya.” (Hadis Riwayat Abu Dawud).
Bila seorang yang memiliki ilmu dan keterampilan dalam bidangnya, tetapi melakukan kekeliruan dalam praktiknya, maka – menurut pendapat para ulama fikih– dia harus membayar diyat (denda) yang dibebankan kepada dirinya (apabila dia lakukan sendiri), atau dibebankan kepada tim medisnya, bila dilakukan secara kolektif.
Keharusan bertanggung jawab ini dibebankan kepada para dokter atau orang yang berprofesi dalam bidangnya dalam rangka untuk melindungi hak para pasien, di samping untuk mengingatkan kepada para dokter atau orang yang berprofesi dalam bidangnya agar berhati-hati dan bersikap profesional dalam melaksanakan pekerjaan/profesinya.
Sumber lain yang menyatakan apabila tabib atau dokter lalai dalam tindakannya, maka ia harus membayar diyat, sesuai dengan QS. An-Nisa ayat 92 yang artinya :
“Dan barang siapa membunuh seseorang yang beriman karena tersalah (Hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) kecuali jika (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran”.

VII. Daftar Pustaka
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/malpraktik-medis-medical-negligence-dalam-perspektif-fikih-3/

Undang-undang Replubik Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII Tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja,  Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar