Malpraktik Dalam Pelayanan Kebidanan
I. Malpraktik
Dalam Pelayanan Kebidanan
1. Pengertian
Malpraktik
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang
berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan
demikian malpraktik adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter
dalam hubungannya dengan pasien.
Dalam Black’sLaw Dictionary malpraktik didefinisikan
sebagai:
professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional
services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under
all the circumstances in the community by the average prudent reputable member
of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of
those services or to those entitled to rely upon them.
Sedangkan Guwandi (1994) Dalam suatu kasus di california
tahun 1956 mendifiniskan mallpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan
pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan
wilayah yang sama.
Malpraktik sering dikaitkan dengan kelalaian. Kelalaian
adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna
melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak
beralasan dan beresiko melakukan kesalahan. Guwandi (1994) mengatakan bahwa
kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar
dilakukan seseorang dengan hati-hati
dalam keadaan tersebut. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau
kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada
orang lain dan orang itu dapat menerimanya (hanafiah & Amir, 1999). Namun,
jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut
nyawa orang lain, ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat(culpa lata),
serius dan kriminal.
Jadi perbedaan malpraktik dan kelalaian adalah :
a. Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status
profesional dari pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional.
Malpraktik merupakan kelalaian tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat
ketrampilan dan ilmu pengetahuannya yg lazim dipergunakan dlm asuhan yang
diberikan ke pasien, menurut ukuran
(standar) di lingkungan yang sama.
b. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi
di dalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik lebih
luas dari pada kelalaian (negligence) karena selain mencakup arti kelalaian,
istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja
(criminal malpractice) dan melanggar undang-undang.
Kesimpulan malpraktik adalah :
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan
oleh seorang tenaga kesehatan.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau
melalaikan kewajibannya (negligence) dan;
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
2. Faktor yang menyebabkan terjadinya mal praktik dalam
kebidanan
a. Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada
tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan
rata-rata dan ketelitian umum
b.Standar Operasional prosedur(SOP) SOP adalah suatu
perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu
proses kerja rutin tertentu.
c. Informed Consent Substansi informed consent adalah
memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap
pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
(Gruendeman & Fernsebner, 2006)
d. Petugas
kesehatan (dokter, perawat, bidan )
tidak memahami benar tentang filosofi keilmuannya sehingga pada saat
melaksanakan asuhan kepada klien tidak sesuai dengan kewenaangannya,
kompetensinya, serta melakukan asuhan dibawah standar operasinal prosedur,
bertentangan dengan hukum, lalai dengan tugasnya dan akhirnya terjadi
komunikasi yang tidak baik antara nakes dan pasien, hasil perawatan dirasakan
kurang memuaskan, serta biaya yang dirasakan terlalu tinggi serta terjadi insiden KTD (Kejadian yang tidak diharapkan)
atau Sentinel yang pada akhirnya akan menimbulkan tuntutan dari pasien
tersebut.
3. Sanksi malpraktik
1) Undang-undang malpraktik
Undang-undang Replubik Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII
Tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja,
Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat Bagian ke satu : kesehatan ibu, bayi
dan anak
1. Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu
harus ditujukan untuk menjaga kesehatan
ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta
mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat
dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu dan
terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu
diatur dengan peraturan pemerintah.
Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang secara langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum
kesehatan Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak
menyebutkan secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan
atau kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54
dan 55 UU Kesehatan.
2 Pasal 54:
(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan.
3 Pasal 55:
(1)Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2)Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Hanafiah (1999) hal-hal yang berhubungan dengan
sanksi malpraktik adalah :
2) Tuntutan malpraktik dapat bersifat
pelanggaran-pelanggaran berikut:
a. Pelanggaran etika profesi
b. Sanksi administratif
c. Pelanggaran hukum
3) Sebab-sebab terjadinya gugatan malpraktik:
a. Komunikasi yang
tidak baik
b. Hasil perawatan
yang tidak memuaskan
c. Biaya yang dianggap terlalu tinggi
4) Strategi untuk menanggulangi permasalahan malpraktik
a. Tidak menjanjikan
atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya ( inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. sebelum melakukan
intervensi agar selalu dilakukan informed consent
c. mencatat semua
tindakan yang dilakukan dalam rekam medis
d. apabila terjadi
keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien,
keluarga dan masyarakat sekitar.
g. Petugas kesehatan harus mengetahui dan
mematuhi standar perawatan, harus mengetahui standar asosiasi nasional dan
praktik yang direkomendasikan, serta memperhatikan isu – isu terbaru dari
jurnal atau buku yang diterbitkan dan melaksanakan asuhan berdasarkan evidence
base dengan sumber bukti ini.
5) Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti
rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan
adanya empat unsur berikut:
a. Adanya suatu
kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien
b. Tenaga kesehatan
telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian
yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d. Secara faktual
kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.
4. Jenis-Jenis Malpraktik
Malpraktik dibedakan menjadi 2 yaitu, malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridical malpractice)
:
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga
kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana
(criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative
malpractice).
Adapun isi dari pada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut
dapat berupa:
1. Tidak melakukan
apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
2. Melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.
3. Melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam
pelaksanaan dan hasilnya.
4. Melakukan apa
yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
5. Teori yang dapat dijadikan pegangan untuk pembelaan
apabila menghadapi tutntutan malpraktik
a. Teori Kesediaan
Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan
malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu
tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang
mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam
Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana
tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan
kelalaian.
c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan
(Exculpatory Contract)
Dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus
dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah
sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.
d. Peraturan Good
Samaritan
Seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat
darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat
dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi
terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e. Pembebasan Atas
Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan
dari seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk
mengadakan penyelesaian bersama.
f. Peraturan Mengenai
Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan
dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada
tuntutan-tuntutan hukum yang lain.
g. Workmen’s Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam
suatu kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha
yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus
malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan
menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima
ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi
persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka.
II. Kewenangan dan peran bidan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464 /Menkes/Per/ X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
1. Kewenangan normal:
a. Pelayanan kesehatan ibu
b.Pelayanan kesehatan anak
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
2. Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah
3. Kewenangan bidan
yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter
Peran Bidan menurut kode etik kebidanan dalam memberikan
pertolongan persalinan adalah melakukan penapisan awal sebelum melakukan
tindakan pertolongan persalinan sehingga diketahui apakah pasien mempunyai
komplikasi atau penyulit di dalam sehingga persalinan aman dan terhindar dari
komplikasi
Peran Bidan adalah sebagai berikut :
1. Sebagai
pelaksana,
Sebagai pelaksana bidan memiliki tiga kategori tugas yaitu
tugas mandiri, tugas kolaborasi dan tugas ketergantungan
2. Peran sebagai pengelola
Sebagai pengelola bidan memiliki 2 tugas yaitu tugas
pengembangan pelayanan dasar kesehatan dan tugas partisipasi dalam tim
3. Peran sebagai pendidik
Sebagai pendidik bidan mempunyai 2 tugas yaitu sebagai pendidik
dan penyuluh kesehatan bagi klien serta
pelatih dan pembimbing kader
4. Peran sebagai peneliti
Melakukan investigasi atau penelitian terapan dalam bidang
kesehatan baik secara mandiri maupun kelompok.
III. Peran
organisasi profesi dalam kasus tersebut
Ikatan Bidan
Indonesia mempunyai MPEB (Majelis Pertimbangan Etik Bidan) yang merupakan badan
perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan tuntutan dari pasien
akibat pelayanan yang di berikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan
hukum. MPEB bertujuan mengupayakan peningkatan mutu pelayanan yang di berikan
oleh bidan dalam masyarakat sesuai
dengan mengamalkan ketentuan ketentuan kode etik Bidan Indonesia.
Keberadaan MPEB bertujuan untuk :
a. Meningkatkan citra Ikatan Bidan Indonesia dalam
meningkatkan mutu pelayanan yang di berikan bidan.
b. Terbentuknya
lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap kode etik
Bidan Indonesia.
c. Meningkatkan
kepercayaan diri anggota IBI
d. Meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan.
Tugas dan wewenang MPEB adalah memberikan bimbingan
pembinaan serta pengawasan etik profesi meneliti dan menetukan ada atau
terhadap kesalahan dan kelalaian bidan dalam memberikan pelayanannya etika
profesi ialah norma norma yang berlaku bagi bidan dalam memberikan pelayanan
profesinya seperti yang tercantum dalam kode etik bidan.
Lingkup Majelis Etika Kebidanan meliputi :
1. Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai dengan
standar profesi pelayanan bidan (Kepmenkes no. 900/Menkes/SK/VII/Tahun 2002
2. Melakukan supervise lapangan, termasuk tentang teknis dan
pelaksanaan praktek termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah pelaksanaan
praktek bidan sesuai dengan standar praktek bidan, standar profesi dan standar
pelayanan kebidanan, juga batas – batas kewenangan bidan.
3. Membuat pertimbangan bila terjadi kasus – kasus dalam
praktek kebidanan.
4. Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang hokum
kesehatan, khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik bidan.
IV. Standar pelayanan kebidanan
Ruang lingkup standar pelayanan kebidanan meliputi 24
standar yang dikelompokkan sebagai berikut :
a. Standar pelayanan umum (2 standar)
Standar 1 :
Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Bidan memberikan penyuluhan dan nasehat kepada perorangan,
keluarga dan masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan dengan kehamilan,
termasuk penyuluhan kesehatan umum, gizi, keluarga berencana, kesiapan dalam
menghadapi kehamilan dan menjadi calon orang tua, menghindari kebiasaan yang
tidak baik dan mendukung kebiasaan yang baik.
Standar 2 :
Pencatatan dan Pelaporan
Bidan melakukan pencatatan semua kegiatan yang dilakukannya,
yaitu registrasi. Semua ibu hamil di wilayah kerja, rincian pelayanan yang
diberikan kepada setiap ibu hamil/bersalin/nifas dan bayi baru lahir, semua
kunjungan rumah dan penyuluhan kepada masyarakat. Di samping itu bidan
hendaknya mengikutsertakan kader untuk mencatat semua ibu hamil dan meninjau
upaya masyarakat yang berkaitan dengan ibu hamil dan bayi baru lahir. Bidan
meninjau secara teratur catatan tersebut untuk menilai kinerja dan penyusunan
rencana kegiatan untuk meningkatkan pelayanannya
b. Standar Pelayanan
Antenatal (6 standar)
Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Bidan melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan
masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan memotivasi ibu,
suami, dan anggota keluarganya agar mendorong ibu untuk memeriksakan
kehamilannya sejak dini dan secara teratur
Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Bidan memberikan sedikitnya 4x pelayanan antenatal.
Pemeriksaan meliput anamnesis dan pemantauan ibu janin dengan seksama untuk
menilai apakah perkembangan berlangsung normal. Bidan juga harus mengenali
kehamilan risti/ kelainan, khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi, PMS,
infeksi HIV, memberikan pelayanan imunisasi, nasehat dan penyuluhan kesehatan
serta tugas terkait lainnya yang diberikan oleh puskesmas. Mereka harus
mencatat data yang tepat pada setiap kunjungan. Bila ditemukan kelainan, mereka
harus mampu mengambil tindakan yang diperlukan dan merujuknya untuk tindakan
selanjutnya.
Standar 5 : Palpasi dan Abdominal
Bidan melakukan pemeriksaan abdominal dan melakukan palpasi
untuk memperkirakan usia kehamilan; serta bila kehamilan bertambah memeriksa
posisi, bagian terendah janin dan masuknya kepala janin kedalam rongga panggul,
untuk mencari kelainan dan melakukan rujukan tepat waktu.
Standar 6 :
Pengelolaan Anemia pada Kehamilan
Bidan melakukan tindakan pencegahan, penemuan, penanganan
dan rujukan semua kasus anemia pada kehamilan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Standar 7 :
Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah
pada kehamilan dan mengenal tanda serta gejala preeklampsia lainnya, serta
mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya.
Standar 8 : Persiapan Persalinan
Bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami serta
keluarganya pada trimester ketiga, untu memastikan bahwa persiapan persalinan
yang bersih dan aman serta suasana yang menyenangkan akan direncanakan dengan
baik, disamping persiapan transportasi dan biaya untuk merujuk, bila tiba-tiba
terjadi keadaan gawat darurat. Bidan hendaknya melakukan kunjungan rumah untuk
hal ini.
c. Standar Pertolongan Persalinan (4 standar)
Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala I
Bidan menilai secara tepat bahwa persalian sudah mulai,
kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai, dengan memperhatikan
kebutuhan klien, selama proses persalinan berlangsung.
Standar 10 : Persalinan Kala II yang Aman
Bidan melakukan pertolongan persalinan yang aman, dengan
sikap sopan dan penghargaan terhadap klien serta memperhatikan tradisi setempat
Standar 11 : Penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala III
Bidan melakukan penegangan tali pusat dengan benar untuk
membantu pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara lengkap
Standar 12 : Penanganan Kala II dengan Gawat Janin melalui
Episiotomi
Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat janin pada
kala II yang lama, dan segera melakukan episiotomi dengan aman untuk
memperlancar persalinan, diikuti dengan penjahitan perineum.
d. Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk memastikan
pernafasan spontan mencegah hipoksia sekunder, menemukan kelainan, dan
melakukan tindakan atau merujuk sesuai dengan kebutuhan. Bidan juga harus
mencegah atau menangani hipotermia.
Standar 14 :Penanganan pada Dua Jam Pertama Setelah
Persalinan
Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi terhadap terjadinya
komplikasi dalam dua jam setelah persalinan, serta melakukan tindakan yang
diperlukan. Di samping itu, bidan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang
mempercepat pulihnya kesehatan ibu, dan membantu ibu untuk memulai pemberian
ASI.
Standar 15 :Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas
Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas melalui
kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu keenam setelah
persalinan, untuk membantu proses pemulihan ibu dan bayi melalui penanganan
tali pusat yang benar, penemuan dini penanganan atau rujukan komplikasi yang
mungkin terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan tentang kesehatan
secara umum, kebersihan perorangan, makanan bergizi, perawatan bayi baru lahir,
pemberian ASI, imunisasi dan KB.
e. Standar Penanganan
Kegawatdaruratan Obstetri-Neonatal (9 standar)
Standar 16 : Penanganan Perdarahan dalam Kehamilan pada Trimester III
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala perdarahan
pada kehamilan, serta melakukan pertolongan pertama dan merujuknya.
Standar 17 : Penanganan Kegawatan dan Eklampsia
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala eklampsia
mengancam, serta merujuk dan/atau memberikan pertolongan pertama
Standar 18 : Penanganan Kegawatan pada Partus Lama/Macet
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala partus
lama/macet serta melakukan penanganan yang memadai dan tepat waktu atau
merujuknya
Standar 19 : Persalinan
dengan Penggunaan Vakum Ekstraktor
Bidan mengenali kapan diperlukan ekstraksi vakum,
melakukannya dengan benar dalam memberikan pertolongan persalinan dengan
memastikan keamanannya bagi ibu dan janin/bayinya.
Standar 20 : Penanganan Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali retensio plasenta, dan memberikan
pertolongan pertama termasuk plasenta manualdan penanganan perdarahan, sesuai
dengan kebutuhan.
Standar 21 : Penanganan Perdarahan Post Partum Primer
Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24
jam pertama setelah persalinan (perdarahan post partum primer) dan segera
melakukan pertolongan pertama untuk mengendalikan perdarahan.
Standar 22 : Penanganan Perdarahan Post Partum Sekunder
Bidan mampu mengenali secara tepat dan dini tanda serta gejala
perdarahan post partum sekunder, dan melakukan pertolongan pertama untuk
penyelamatan jiwa ibu, atau merujuknya.
Standar 23 : Penanganan Sepsis Puerperalis
Bidan mampu mengamati secara tepat tanda dan gejala sepsis
puerperalis, serta melakukan pertolongan pertama atau merujuknya.
Standar 24 : Penanganan Asfiksia Neonatorum
Bidan mampu mengenali dengan tepat bayi baru lahir dengan
asfiksia, serta melakukan resusitasi, mengusahakan bantuan medis yang
diperlukan dan memberikan perawatan lanjutan.
V. Kode etik dan etika pelayanan kebidanan
1. Pengertian
Kode etik adalah norma norma yang harus di indahkan oleh
setiap prefesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan di dalam hidupnya di
masyarakat (Wahyuningsih 2008).
Kode Etik juga merupakan pola aturan, tata cara, tanda,
pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan
pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar
profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya.
Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional
Kode etik juga di artikan sebagai suatu ciri profesi yang
bersumber dari nilai nilai internal dan
eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pengetahuan yang komprehensif suatu
profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota bidan dalam melaksanakan
pengabdiannya.Profesi adalah moral community (masyarakat moral) yang memiliki
cita cita dan nilai bersama.
2. Tujuan
a. Menjujung tinggi
martabat dan citra profesi
Dalam hal ini semua anggaota profesi kebidanan yang akan
menjunjung tinngi martabatnya,oleh karena itu setiap kode etik suatu profesi
akan melarang berbagai bentuk tindakan yang dapat mencemarkan nama baik
profesinya tersebut.
Menjaga dan
memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang di maksud dengan kesejahteraan disini adalah
kesejahteraan material dan spiritual dari anggota profesi tersebut.Kode etik
juga menciptakan peraturan peraturan yang di tujukan kepada pembahasan tingkah
laku yang tidak pantas di lakukan oleh seorang bidan.
Meningkatka
pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini profesi dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab
pengabdian profesinya.Oleh karena itu dalam kode etiik merumuskan ketentuan
ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan
tugasnya.
Meningkatkan mutu
profesi
Dengan adanya kode etik ini dapat memelihara dan
meningkatkan mutu profesi dalam
menjalankan pengabdiannya.
3. Dimensi kode etik
a. Anggota profesi
dan klien
b. Anggota profesi dan system
c. Anggota profesi
dan profesi baru
d. Semua anggota profesi
4. Prinsip kode etik
·
Menghargai otonomi
·
Melakukan tindakan yang benar
·
Mencegah tindakan yang dapat merugikan
·
Memperlakukan manusia secara adil
·
Menjelaskan dengan benar
·
Menepati janji yang telah disepakati
·
Menjaga kerahasiaan
5. Kode Etik kebidanan
Dalam Rapat Kerja Nasional Ikatan Bidan Indonesia Tahun 1991
secara umum kode etik tersebut berisi 7 bab yang dapat dibedakan menjadi tujuh
bagian, yaitu
1. Kewajiban Bidan
terhadap klien dan masyarakat
2. Kewajiban
bidan terhadap tugasnya
3. Kewajiban
bidan terhadap teman sejawat dan tenaga kesehatan lainya
4. Kewajiban
bidan terhadap profesinya
5. Kewajiban
bidan terhadap diri sendiri
6. Kewajiban
bidan terhadap pemerintah,nusa bangsa dan tanah air
7. Penutup
6. Penyimpangan
kode Etik
Kode etik diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman yang nyata
bagi para bidan dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada kenyataannya para bidan
masih banyak yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya sendiri dalam
pemberian pelayanan terhadap masyarakat.
Contoh pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh bidan
adalah penangan kasus kelahiran sungsang, melakukan aborsi, menolong partus
patologis dan yang lainnya. Untuk kasus kelahiran sungsang jika bidan melakukan
pertolongan sendiri maka bertentangan dengan
a. Undang-Undang
Kesehatan Pasal 5 Ayat (2) yang
menyatakan bahwa ) “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman
b. PERMENKES RI tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan Pada Pasal 10 point (d) disebutkan bahwa “Pelayanan kebidanan kepada ibu
meliputi pertolongan persalinan normal
Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan isu utama
diberbagai tempat, dimana sering terjadi karena kurang pemahaman para praktisi
pelayanan kebidanan terhadap etika. Pelayanan kebidanan adalah proses dari
berbagai dimensi.
Bidan sebagai praktisi pelayanan harus menjaga perkembangan
praktik berdasarkan evidence based
Etika dibagi menjadi
tiga bagian, meliputi:
1. Metaetika
(etika)
2. Etika atau teori
moral;
3. Etika praktik.
Etika atau teori moral untuk memformulasikan prosedur atau
mekanisme untuk memecahkan masalah etika. Etika praktik merupakan penerapan
etika dalam praktik sehari-hari, dimana dalam situasi praktik ketika kecelakaan
terjadi keputusan harus segera dibuat.
VI. Nilai-nilai
Islam terkait malpraktik
Para ulama fikih sepakat dalam hal seseorang yang tidak
mempunyai pengetahuan dalam bidang medis, kemudian ia melakukan tindakan medis
terhadap seseorang pasien, dan ternyata mengakibatkan sakit atau tidak
sembuhnya penyakit pasien, dan bahkan membawa dampak negatif lain. Maka ia
harus bertanggung jawab penuh terhadap tindakannya sesuai dengan kadar bahaya yang
diakibatkannya. Sebab tindakannya itu dianggap sebagai kezaliman dan
pelanggaran penuh. Oleh karenanya dia harus membayar ganti-rugi atas
perbuatannya itu.
Dinyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
“Barangsiapa
berpura-pura sebagai dokter, sedangkan dia sebelum itu belum pernah memelajari
ilmu kedokteran, maka ia harus mengganti kerugian (yang diakibatkan oleh
ulahnya)”.
“Dokter mana pun yang merawat pasien, sedangkan ia tidak
mengetahui (sebelumnya) cara perawatan medisnya, sehingga si pasien menderita
lebih parah, maka ia harus bertanggung jawab sepenuhnya.” (Hadis Riwayat Abu
Dawud).
Bila seorang yang memiliki ilmu dan keterampilan dalam
bidangnya, tetapi melakukan kekeliruan dalam praktiknya, maka – menurut
pendapat para ulama fikih– dia harus membayar diyat (denda) yang dibebankan
kepada dirinya (apabila dia lakukan sendiri), atau dibebankan kepada tim
medisnya, bila dilakukan secara kolektif.
Keharusan bertanggung jawab ini dibebankan kepada para
dokter atau orang yang berprofesi dalam bidangnya dalam rangka untuk melindungi
hak para pasien, di samping untuk mengingatkan kepada para dokter atau orang
yang berprofesi dalam bidangnya agar berhati-hati dan bersikap profesional
dalam melaksanakan pekerjaan/profesinya.
Sumber lain yang menyatakan apabila tabib atau dokter lalai
dalam tindakannya, maka ia harus membayar diyat, sesuai dengan QS. An-Nisa ayat
92 yang artinya :
“Dan barang siapa membunuh seseorang yang beriman karena
tersalah (Hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
(membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) kecuali
jika (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran”.
VII. Daftar Pustaka
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/malpraktik-medis-medical-negligence-dalam-perspektif-fikih-3/
Undang-undang Replubik Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII
Tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja,
Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar